WARNING #SharingEps4


WARNING!!!

Edisi kali ini masuk ke ranah agak pribadi, jadi kalau kalian ogah belajar dan sudah negative thingking, skip aja. Postingan ini murni untuk belajar pengingat, tak sedikit pun ada maksud jumawa, sombong, apalagi pamer. Toh tidak ada yang bisa disombongkan dari ku. :D

Siang itu ada perkumpulan keluarga, bapak, ibuk, aku dan adik perempuanku. Sambil memakan gorengannya (bakwan), adikku bermain Instagram. Sedangkan ibuku terlihat menikmati es teh yang menyegarkan dan cukup membuatku tergoda. Bapak berada pada posisi paling jauh dan berjalan menuju arah kami setelah membuang sampah di bagian ujung depan rumah. Aku menikmati makan siangku dengan lauk sayur bening dan ikan laut, lengkap dengan sambal dan kerupuknya.

Es teh ibuk tiba-tiba tinggal sebagian ketika memulai pembicaraan “Nduk, tadi ibuk ketemu ibuknya temen TK mu dulu” sahut ibuk.

Setelah menyelesaikan suapan terakhirku, aku menjawab, “Siapa buk? Kok ibuk masih ingat teman TK ku dulu?”.

“Ibuk juga lupa, tadi beli makanan disini. Ia menyanyakan kabarmu sekarang, dan menyebut namamu”. Lanjut ibuk dengan raut muka mengingat-ingat nama teman TK ku.

“lhoh, kok masih ingat namaku buk? Itu kan sudah zaman paleolitikum.” Balasku sedikit bercanda.

“ya ingat to, kan dulu kamu terkenal nduk”, puji ibuk.

“ibuk jangan memuji mbak, nanti kepedean” sambung adikku tak terima karena cemburu.

“oh iya ya buk, aku kan terkenal”, sambil muka sombong niat bercanda pada adikku.

“dulu itu kamu sering dipuji sama guru ngaji lho nduk, katanya pintar dan cerdas. Beliau (almarhum) sangat kagum, diusia 4 tahun kamu sudah bisa membaca alquran dengan bagus. Belajarmu cepat paham, dan manutan sama pak guru”, ucap ibuk dengan nada bangga.

“iya bener nduk, dulu kamu juga sering didahulukan oleh guru ngaji karena lebih cepat menerima pelajaran dari teman sepantaran mu dulu. Terutama memang proses mengaji”, sambung Bapak yang sudah bergabung dengan kami.

“iya sih buk, pak, aku juga ingat”, jawabku bangga pernah membahagiakan orangtua meskipun tak kusadari.

“andai dulu masuk sekolah hafalan alquran, pasti sudah hafal nduk.” Ungkap harapan ibuk

“iya ya buk, sekarang saja yuk buk”, sahutku semangat dan sedikit bercanda.

Terharu mendengar harapan ibuk, beliau merasa sedikit menyesal tidak mengarahkanku pada jalur hafalan alquran. Hal ini terungkap dan terus menghantui ibukku semenjak ada acara Hafidz di RCTI. Orangtua ku sering menonton acara ini, terutama memang ibuk. Kagum luar biasa menghinggapi hati dan perasaan ibuk, yang terkadang diungkapkan saat kita menonton acara itu bersama. Para peserta yang notabene masih kanak-kanak sudah sanggup menghafal pedoman umat muslim, yaitu alquran. Bukan menghafal surat pendek, namun hafalan 10 juz, ada juga yang sampai khatam hafidz 30 juz. Masyaa Allah. Lebih malu lagi ketika melihat seorang anak yang secara fisik lumpuh dan tidak sempurna, namun sangat sempurna dalam semangatnya menghafal alquran. Allahummarhamna bil quran.

Flashback ke masa lalu, usia dimana aku belajar lebih cepat dibanding teman seusiaku, aku sadar bahwa kemampuanku tidak hadir begitu saja. Tidak hadir secara “Cling” dalam diriku. Pembiasaan yang dilakukan oleh orangtua sangat mempengaruhiku. Selain belajar ngaji di guru ngaji, sebelumnya aku sudah sering mengulangi pelajaran ngajiku pada bapak. Setiap habis maghrib dan sebelum berangkat ke guru ngaji, aku selalu meminta bapak untuk memeriksa ejaan dan makhraj bacaanku. 

Jadi tahu dong, kemampuan datangnya darimana? Dari kerja keras dan usaha.

Info saja, aku berguru ke guru ngaji itu di usia 4 tahun sampai usia ke 6. Setelah itu aku berhenti belajar pada beliau, karena alhamdulillah orangtua ada rezeki untuk membangun rumah sendiri yang sebelumnya masih bersama mbah putri dan mbah kakung. Ya masih satu desa si, tapi beda RT. Setelah pindah rumah, aku belajar ngaji hanya pada bapak. Setiap hari, sehabis solat maghrib berjamaah. Kami selalu membiasakan solat maghrib berjamaah, lalu ngaji bersama. Ibukku mengaji sendiri, bapakku membimbingku mengaji, lalu dilanjut bapak mengaji sendiri.

Masih lekat dalam ingatanku, bahwa bapak dalam mengajariku sangat menekankan pada tajwid, terutama idzhar, idgham, ikhfa’, dan gunnah. Dasar dari ilmu tajwid. Beliau tidak memberitahu secara teori bahwa idzhar itu ketika nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf idzhar. Tapi beliau mengajari dengan cara membenarkan menggunakan nada agak tinggi yang dulu itu membuatku takut. Jadi, dulu aku bingung antara idzhar dan ikhfa’. Bacaan mana yang harus dibaca jelas atau samar (brengengeng). Alhasil, aku asal tebak saja ketika menemui lafadz nun mati atau tanwin bertemu huruf hijaiyah lain. asal tebak dengan rasa takut ketika salah. Lambat laun aku pun belajar karena terbiasa, “ooh ternyata kalau bertemu huruf hijaiyah ‘ghin’ , bacanya jelas, kalau bertemu huruf ‘fa’ bacanya samar”. Belajar dari pembiasaan. Dan saat itu aku belum tau bahwa hukum bacaannya bernama idzhar dan ikhfa’. Seperti nun dan mim tasydid harus ditahan dulu, itu bacaannya apa aku pun tak tahu. Sekedar tahu bagaimana cara bacanya.

Saat itu aku belum sekolah madrasah diniyah, karena usia belum mencukupi ya. Setelah sekolah diniyah dan mendapatkan ilmu tajwid secara teori, baru aku merasa “ooohh jadi begini ternyata”. Kuhubungkan pelajaran dari bapak dan dari guru di diniyah waktu itu.



Ingin rasanya mewujudkan harapan orangtua untuk dapat menghafal alquran. Jangankan 30 juz, juz amma saja aku hanya beberapa dan itupun surat pendek. Sekolahku dulu selalu di negeri, tak ada pengetahuan agama atau alquran yang mendalam. Hanya sebatas pengetahuan agama yang umum saja.

Solat wajib, ketika baca surat pilihan, pilihanku bahkan sering jatuh pada surat yang umum alias An-nas, Al-ikhlas, Al-falaq, Al-kautsar, dan Al-Asr. Hanya beberapa kali membaca surat lain. bukan mengapa, karena memang hanya surat itu yang kuhapal sepenuhnya. Dulu sewaktu kecil aku pernah di tes bapak juz amma, bisa, dulu bisa. Tapi sekarang entah pada kemana hapalan itu. Astaghfirullah.. Padahal ya aku hapal lagu nya om Syakh Rukh Khan.

Sadar bahwa menghafal alquran menjadi hal sulit diusia ini, aku mencoba meminimalisasinya dengan tetap selalu membaca alquran setiap hari. Harus setiap hari. Ingat, harapan orangtua sudah hampir pupus untuk anaknya jadi hafidz. Jadi aku harus membuat mereka bahagia meskipun sedikit. Membiasakan membaca alquran dan mencoba memahaminya. 

Menunjukkan bahwa, ini lho buk pak, anakmu, anak yang sudah kalian didik. Ini hasil dari didikan kalian yang luar biasa. 

Doakan anakmu, bisa mewujudkan mimpi kalian melalui anak-anakku kelak, melalui cucu kalian buk, pak. Mohon restu dan doa dari kalian. Terimakasih kalian sudah membaca dan turut mendoakan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Balik Nama Kendaraan di Samsat Jepara

Menonton Serial Upin Ipin

Bukan Rencanaku tapi rencana-Nya⁣ ⁣