Single Parent dari 30 Anak Laki-Laki #SharingEps3 Part1
Single parent bukan dalam arti
sebenarnya ya, aneh dong single macam saya tiba-tiba ada anak langsung
tigapuluh..
Di tahun pertamaku mengajar dalam
instansi sekolah, alhamdulillah langsung diberi amanah untuk menjadi wali
kelas, wali dari tigapuluh siswa. Tepatnya siswa laki-laki. Dan aku seorang
gadis, eh wanita aja ya. Entah harus bersyukur atau curiga. Bersyukur karena
pihak sekolah mempercayakan kemampuanku, yang notabene baru mereka kenal untuk
mengambil alih satu dari sekian kelas di sekolah tersebut. Atau curiga karena
bisa jadi aku adalah korban dari kebijakan “membudidayakan” yang muda. Tapi aku
lebih memilih dan percaya pada pendapat pertama. Ingat ya, Allah sesuai
prasangka hambanya. Jadi tetap dan harus selalu positif thingking.
Wali kelas itu kerjanya apa sih,
tugasnya apa saja, terus apa bisa aku yang masih bersih pengalaman disekolah
menjalaninya dengan baik dan benar? Ragu dan bingung, tapi karena tipe kepribadianku
yang cenderung menyimpan kebingungan dan kegalauan sendiri, jadi semua keraguan
itu kusimpan dankupikirkan sendiri. Tentu aku tetap bertanya kepada para senior
mengenai tugas dan kewajiban seorang wali kelas. Berbeda dengan sekolah pada
umumnya, sekolah tempat ku mengabdi bisa dibilang berbeda. Tugas wali kelas
salah satunya adalah memegang kendali administrasi kelas. Jadi segala macam
pembayaran, parkirnya ke wali kelas dulu, baru dari wali kelas menuju ke
bendahara sekolah. And you know, pembayaran administrasi di sekolahku itu bukan
hanya SPP, ada pembayaran seragam, pembayaran praktik, pembayaran tes, dana
osis, dan printilan-printilan lain yang harus ditangani oleh wali kelas. Sekilas
terbayang sederhana, tapi karena terlalu banyak printilan jadi terkadang ada yang
miss oleh si wali kelas ini.
Tugas wali kelas yang terberat
menrutku adalah, memastikan anak walinya tanpa masalah, dan menyelesaikan
permasalahan atau dalam bahasa lain, sebagai tempat konseling bagi anak-anak
walinya. Sulit, dan membuatku banyak belajar. Banyak yang kupelajari dari kasus-kasus
yang kutangani. Bulan demi bulan berjalan, satu demi satu pula masalah muncul
dari siswaku. Siswa laki-laki, mereka tak jauh dari kata “nakal”. Mbolos atau
keluar sekolah tanpa alasan menjadi masalah utama dalam sekolah kami. Beberapa siswa
di kelasku pun termasuk dalam rombongan siswa yang membolos. Syukur, siswa sekarang
lebih mudah diamati lewat sosial media, jadi aku secara diam-diam sengaja
mengamati akun sosial media mereka. Memantau apa yang mereka lakukan, dengan
harapan tak melihat hal yang melanggar aturan.
Home visit. Salah satu cara
menyelesaikan permasalahan siswa terdakwa yang suka membolos. Mengunjungi rumah
siswa, berdialog dengan orangtua. Mencari tahu dengan pasti, fakta yang ada
dibalik tingkah melanggar tata tertib oleh siswa. Dengan berkunjung ke rumah
siswa, aku bisa meraba dan mengetahui kondisi keluarga dan ekonomi mereka. Melakukan
pendekatan personal dengan orangtua siswa, mengetahui kebiasaannya ketika
dirumah, meruntut beberapa kebiasaan sampai akhirnya menemukan sebab mengapa ia
bisa melakukan pelanggaran. Respon orangtua yang sangat terbuka akan kehadiran
walikelas, membuatku lebih terpanggil untuk menyelesaikan permasalahan ini. Bagaimana
supaya membuat sang anak jera dan kembali patuh pada tata tertib sekolah. Tak jarang,
kurelakan berangkat sekolah lebih awal, dan menuju rumah siswa dengan tujuan
mengajaknya berangkat bersama. Memastikan keberangkatannya menuju sekolah
dengan selamat tanpa pengaruh dari pihak luar.
Didikan orangtua menjadi masalah
utama dalam membentuk kepribadian anak. Usut punya usut, permasalahan siswa
pertama dilatarbelakangi oleh keadaan dan perhatian dari orangtua. Miss komunikasi
antara orangtua dengan anak menjadi faktor pendukung. Ditambah lagi musuh
terbesar orangtua zaman sekarang adalah smartphone untuk game online. Ya. Didikan
yang kurang tepat, bisa membuat anak lebih patuh pada game online daripada
orangtua.
Kasus yang kedua, oleh siswa yang
hampir sama dengan yang pertama. Mbolos. Sebelum mendatangi rumah dan bertamu
pada orangtuanya, terlebih dulu kuberi pengarahan. Wajahnya berubah ketakutan
ketika kubilang akan melakukan home visit dan berniat memberitahu orangtuanya
perihal kasus ini. Ia sangat takut dengan orangtua, terutama bapaknya. Ia mengaku
pernah mengalami kekerasan fisik oleh orangtuanya karena ia ketahuan melakukan
pelanggaran yang serupa. Ia bersikeras melarangku untuk melakukan home visit
dan berjanji akan berubah lebih baik dan tidak membolos lagi. Perkataan itu
hanya penenang saja, ia melanggar sendiri apa yang dia janjikan. Berbekal pengarahan
dari teman dekatnya disekolah, aku dan guru BK melakukan home visit. Sesampainya
di rumah, sepasang mataku terpaku pada foto-foto keluarga yang terpajang di
dinding ruang tamu. Ia memiliki beberapa kakak, yang semuanya sudah
menyelesaikan pendidikan tinggi alias sarjana. Ternyata keluarga besar dari
siswa satu ini memiliki latar belakang pendidikan yang bisa dibilang bagus dan
tinggi. Lalu, bagaimana??? Oke kita telusuri dulu.
Sambutan dari orangtua siswa
ini agak tegang ya, entah mengapa. Mungkin beliau sudah memprediksi maksud
kedatangan kami. Benar saja, beliau langsung menanyakan mengenai masalah apa
yang dilakukan anaknya. Langsung saja kujelaskan secara nyata dan fakta jumlah
hari dimana sang anak membolos. Benar dugaanku, beliau tidak mengetahui
perbuatan anaknya itu. Marah lah si Bapak. Beliau merasa anaknya selalu
berpamitan menuju sekolah, tetapi kami justru datang membawa kabar bahwa ia tak
hadir di sekolah. Lalu kemana ia? Yang dikhawatirkan oleh orangtua dan kami
sebagai guru, adalah ketika jam sekolah anak justru lari ke tempat yang tidak
semestinya, bergaul dengan yang tidak seharusnya juga. Anak seusia ini masih
mudah terpengaruh oleh teman lain. Apalagi pengaruh buruk, sangat mudah
merasuki.
Berdasarkan pengamatan, sang anak merasa hendak memberontak pada
orangtua. Harapan yang terlalu tinggi disandarkan pada pundak sang anak. Bagaimana
tidak, kakak-kakaknya sudah menjadi orang sukses dalam hal pendidikan dan
pekerjaan. Orangtua tentu membanding-bandingkan sang anak dengan anak yang
lain, namun ketika ekspektasi atau harapan orangtua pada sang anak tidak
terpenuhi, maka orangtua terus menerus menuntuk dan membandingkan. Inilah yang
menjadi titik awal “stress” dari siswaku. Ia merasa tidak suka dibandingkan, ia
merasa tidak mempunyai kemampuan untuk bisa melampaui atau bahkan menyamai
kakak-kakaknya, ia terlalu keberatan dengan harapan yang diberikan oleh
orangtua. Namun rasa takut terhadap orantua, membuatnya diam dan tidak berani
mengkomunikasikannya. Diam dan ia alihkan dengan memberontak di sekolah,
berharap orangtuanya mengetahui dan paham bahwa ia tidak sanggup mewujudkan
ekspektasi orangtua.
Sekali lagi, komunikasi. Komunikasi adalah hal terpenting bagi anak. Buatlah anak mengkmunikasikan hal apapun pada orangtua, sekalipun itu hal yang dianggap remen-temeh.
Jangan sampai orangtua
merasa menyesal ketika sang anak sudah menemukan seseorang atau sesuatu
pekerjaan yang membuatnya menyalurkan semua keluh kesah itu. Kita tidak tahu
apakah pelampiasan itu pada hal positif atau negative. Mudah bagi anak untuk mencari
pelarian menuju hal negative. Benda mati seperti smartphone menjadi pelarian
utama anak. Susah sekali menjauhkan anak dari yang namanya game online.
Bagaimana kelanjutannya? Apakah ada
lagi tugas dari walikelas? Apakah sang anak tersebut bisa kembali ke jalan yang
benar? Tunggu di postingan selanjutnya yaa..
Komentar
Posting Komentar