Single Parent dari 30 Anak Laki-Laki #SharingEps3 Part2
Postingan pertama lebih banyak
mencurahkan duka-nya menjadi walikelas, nah part ke 2 ini khususon part yang
mengharu sendu ya.
Dimulai dari serangkaian
peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. Peran walikelas pertama olehku. Walikelas
diwajibkan mengarahkan anak-anaknya untuk meentaati peraturan dan mengikuti
semua lomba yang disediakan panitia. As you know, para anak lelaki ku agak
pemalu dan kurang percaya diri untuk show off mengenai kemampuan mereka. Jiwa malu
memperlihatkan diri, masih menghinggapi sebagian besar siswa-siswa ku. Jadi mereka
menganggap, mengikuti atau menjadi perwakilan kelas dalam sebuah lomba adalah
hal yang memalukan alias “karena diakali”. Bahasa Indonesia nya, dijadikan kalah-kalahan
sama teman-temannya. Bukan merupakan kebanggaan karena menjadi perwakilan. Mindset pedesaan yang masih mendarah daging dan nempel ke oksigen yang beredar ke
selurih tubuh.
Kuberi anak-anakku pengertian
bahwa menjadi perwakilan kelas bukanlah hal memalukan, tapi justru hal yang membanggakan.
Sampai akhirnya mereka bersedia mengikuti perlombaan dari Tarik tambang,
futsal, balap karung, sampai panjat pinang. Yak lupa aku membersamai mereka
dalam setiap perlombaan, setidaknya kehadiranku bisa menjadi sedikit penambah
suplemen semangat mereka.
Nah, ada lagi yang membuatku
sendu terharu melihat tingkah mereka. Waktu itu setiap kelas diwajibkan membuka
stand makanan dna menjualnya. Anak-anakku mendapat bagian dengan tema buah. “Buat
es jus saja ya, pasti ramai” saranku pada mereka. Benar saja, keesokan harinya
mereka membagi tugas. Satu anak ada yang membawa blender dari rumah, anak lain
ada yang bertugas membeli cup, es batu, macam-macam buah, sampai sedotannya. Terharu
sih, melihat mereka bisa me-manage semuanya dengan baik, bahkan es jus mereka
laku keras dan menjadi kelas pertama yang habis ludesss.. yeaayyy.. proud of
you nak. Good job.
Hari demi hari, tingkah “pemalas”
mereka membuatku jengkel sendiri dan sering melamun untuk masalah ini. Apa yang
terjadi pada anak-anakku, aku percaya bahwa setiap anak memiliki kemampuan dan
bakat masing-masing. Ecery child is special. Bergantung bagaimana kita, sebagai
gurunya untuk menemukan bakatnya itu. Aku percaya mereka tidak harus selalu
mendapatkan nilai bagus pada pelajaranku, mereka tak harus selalu suka dengan
setiap mata pelajaran, tapi aku belum menemukan cara untuk keluar dari masalah
ini. Bagaimana mereka bisa menemukan bakat mereka, bagaimana agar mereka merasa
enjoy ketika berada di sekolah, bagaimana membuat mereka patuh terhadap guru
bukan karena takut tapi karena hormat.
Semakin ku sering mengajak mereka
berkomunikasi, semakin ku tahu dan paham sedikit demi sedikit mengenai latar
belakang mereka. Keluarga mereka, keseharian mereka, orangtua mereka. Potongan-potongan
puzzle yang kudapat perlahan kusatukan dan berhasil menemukan pola sebab-akibat
dalam kelasku. Aku mulai paham mengapa ada yang tidur di kelas pada setiap
pelajaran, mengapa ada yang sering bolos pada hari tertentu, mengapa ada yang
mengalami penurunan dalam hasil belajar, dan masih banyak lagi.
Finally, semua hubungan puzzle ini ku konfirmasikan
pada orangtua dari mereka ketika pembagian rapot semester genap. Jujur aku
sangat senang bisa berdialog langsung dengan para orangtua, bertanya secara
tatap muka dan mengkonfirmasikan segala dugaanku pada anak mereka. Adalah hal
yang menyenangkan ketika bisa berkomunikasi langsung dan saling memberi masukan
antara orangtua murid dan guru.
Seharusnya sering sekolah mengadakan kegiatan semacam ini. Sehingga adanya keseimbangan dan keselarasan informasi dari sekolah dan dari keluarga. Adanya kerjasama yang terarah bagi siswa, sehingga bisa menimbulkan hubungan yang baik antara sekolah dan keluarga siswa.
Komentar
Posting Komentar